Beranda

Friday, March 9, 2007

Perkembangan pendaki di era teknologi


Mungkin sebagian orang masih ingat bagaimana kelompok pendaki Indonesia yang berhasil manancapkan bendera merah putih di puncak gunung tertinggi dunia dari sebuah tayangan televisi dan surat kabar pada saat itu, yang membuat decak kagum kita serta bangga.
Seiring itu pula pada perkiraan tahun 1980an kegiatan alam bebas memang mulai semarak, dimana kelompok Mapala UI dan Wanadri tidak asing lagi sebagai pelopor kegiatan alam bebas ditanah air.
Dunia kegiatan alam bebaspun menjadi boming, tidak hanya Universitas dan akademi yang mendirikan klub-klub kegiatan alam bebas ini, hingga tingkat SLTA pun tak ketinggalan menyemarakkan kegiatan alam bebas di tanah air tercinta.
Kegiatan alam bebas yang lebih dikenal pada saat itu dengan sebutan Pecinta Alam (PA) menjamur dimana-mana, sehingga dikenallah sebutan anak gunung atau pecinta alam. Walaupun sebagian kegiatannya berupa kemping gembira di wilayah-wilayah pegunungan yang sejuk udaranya, namun banyak pula klub-klub yang benar-benar serius dalam melakukan kegiatannya di alam bebas ini, sehingga tidak dipungkiri nama besarnya pun menjadi warna tersendiri dalam perjalanan kegiatan alam bebas pada masa itu.
Kegiatan pendakianpun tidak hanya dilakukan oleh organisasi kampus namun organisasi tingkat kelurahan hingga kampong-kampung di pelosok daerahpun mulai mengeliat ikut meramaikan kegiatan alam bebas ini. Namun kendala[in terjadi dimana ketersedian informasi tidak menyebar luas dikalangan pendaki organisasi kecil hingga perorangan ini, sulitnya mencari informasi ataupun diklat-diklat latihan membatasi para pecinta olahraga alam bebas ini dalam menambah dan mengasah pengetahuan dan ketrampilannya. Tidak pula dipungkiri karena kurangnya informasi sebuah perjalanan dalam pendakian kerap menemui hambatan karena kendala situasi dan kondisi di diri pendaki ataupun keadaan di lokasi pengunungan yang tidak sesuai dengan rencana perjalanan semula karena kurangnya informasi sebelumnya.
Seiring perkambangan teknologi dan informasi telah membawa perubahan besar dihampir semua aspek kehidupan manusia, antara lain perkambangan informasi di dunia maya atau internet sejak tahun 1990an, membawa banyak dampak positif, dimana informasi dalam bentuk web dapat dengan mudah dipublikasikan ataupun didapatkan. Website merupakan media infomasi yang menjadi primadona pada era awal internet dikenal di Indonesia, walaupun masih bisa dihitung dengan jari namum kwalitas informasi yang disajikan dalam website tersebut menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi netter dalam mencari informasi sebuah pegunungan yang akan didakinya.
Informasi awal dalam sebuah rencana perjalanan memang sangat penting dimana dapat diperkirakan berapa biaya dan berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pendakian tersebut atau yang lebih dikenal dengan manajemen perjalan. dan tak kalah pentingnya adalah persiapan berupa alat-alat yang dibutuhkan dalam melakukan pendakian disebuah pegunungan.
Memasuki tahun 2000 website tetap masih dominan dalam panyajian informasi namun pradigma dalam kegiatan alam bebas tidak hanya diramaikan oleh para pendaki atau penggiat alam bebas dari kalangan organisasi namun dalam kenyataannya pendakian bersama sesame anggota kelompok dalam mailing list ataupun website komunitas juga mewarnai beberapa kegiatan alam bebas.
suasana dalam sebuah koSalah satu tema dan tujuan dalam mengikuti mailing list ini adalah rasa “persahabatan” sehingga dapat dirasakan sekali bagaimana munitas internet memberikan wahana yang berbeda, dimana kelompok-kelompok pendaki ataupun perorangan saling berinteraksi melalui media e-mail melalui forum mailing-list atau milis, suasana persahabatanpun semakin erat karena setiap anggota dapat mendapatkan informasi maupun memberikan informasi dalam wadah tersebut.
Milis memang sangat memberikan keuntungan besar bagi pendaki dalam melakukan komunikasi, sehingga milis kegiatan alam bebaspun banyak bermunculan dengan ciri khasnya masing-masing, tentu kita sangat diuntungkan, karena kita dapat memilih milis mana yang paling cocok untuk kita bergabung menjadi salah satu anggotanya.
Walaupun terkesan berbeda dalam ciri khasnya masing-masing, adakalanya setiap anggota milis ini adalah merupakan anggota milis lainnya, tak jarang terjadi cros posting antar anggota milis ini, sehingga suasanapun semakin akrab karena sebelumnya kita sudah menganal anggota tersebut sebelumnya.
Kerjasama antar milis pun bisa terjalin, dimana sebuah kegiatan dari milis “A” akan didukung oleh anggota dari milis serupa, sehingga tidak hanya cros psoting yang terjadi namun suasana perkanalan pun semakin berpeluang, apalagi bagi mereka yang memang ingin mencari sahabat-sahabat baru dari berbagai daerah di Indonesia.Lebih dari 12-an milis tercacat yang berhubungan erat dengan kegiatan alam terbuka dan petualangan, seperti milis Pendaki, Pangrango, Highcamp, Merbabu, JejakPetualang, Indobackpacker, Nature Trakker, JalurSutra, sahabatalam, pencintaalam, mapala dan mungkin masih banyak lagi milis-milis lainnya.
Selain melalui milis fasiltas komunikasi di internet dapat pula melalui jalur lainnya seperti Frendster, YahooMessanger, Mirc, Multiply dan website. Dan inilah salah kenyataan yang terjadi dimana persahabatan tidak lagi dibatasi oleh jarak dan waktu.
Dari tulisan singkat ini tentu peranan teknologi sangat memberikan keuntungan besar bagi pendaki gunung dan para penggiat alam bebas di Indonesia, sebagai ajang persahabatan, informasi dalam berbagi pengetahuan dan pengalamannya masing-masing, seolah-olah para pendaki ini tidak lagi membutuhkan sebuah organisasi yang formal, karena menjadi salah satu organisasi yang formal tentu tidak mudah, apalagi harus ada tes seleksi untuk menjadi anggota sebuah klub / organisasi yang formal ini.
Semoga dengan banyaknya website, milis dan media lainnya akan memberikan keleluasaan keterbukaan informasi, sehingga tidak ada lagi kata sulit mencari sebuah data gunung yang bisa membatalkan perjalan pendakian anda.

Tantangan dan Kenikmatan seorang Pendaki


Buat apa capek-capek mendaki gunung, kedinginan, lapar dan tentunya maut di depan mata. Pertanyaan itu seoalah menggelitik tiap pendaki. Ada yang bilang pekerjaan sia-sia, tapi ada pula yang bilang hobby. Ada yang berpendapat sekali coba pasti mau lagi, tapi yang kapok karena capek dan pegel-pegelnya tidak bisa hilang dalam dua hari. Apapun itu, geliat pendakian di tiap-tiap gunung di Indonesia dan di didunia tidak pernah sepi. Perusahaan-perusahaan yang membantu pendakian professional bermunculan, dan tidak hanya di kalangan mahasiswa-pelajar saja yang merasakan nikmatnya naik gunung. Baru-baru ini ada sepasukan pengusaha-pengusaha dari seluruh dunia, menjajal everest. Gengsi, prestise, dan entah pada deskripsi yang mana mereka menempatkan pendakian mereka hari itu. Lalu, bagaimana di negeri kita sendiri. Jawabannya, tidak jauh berbeda.

Menjadi pendaki, buat kebanyakan anak muda jaman sekarang boleh jadi merupakan tantangan. Apalagi, menjamurnya klub-klub pencinta alam di Indonesia, kurun waktu belakangan ini, manambah referensi untuk para pemula, menjadi semacam magnet untuk memacu adrenalin. Belum lagi maraknya film dokumenter dan film layar lebar lainnya, serta majalah dan buletin-buletin olah raga yang kerap kali menyajikan informasi mengenai dunia pendakian. Serta maraknya kegiatan-kegiatan yang di motori oleh berbagai macam organisasi kepecintaalaman, di tanah air, menjadikan olah raga yang satu ini tidak hanya populer sebagai hoby, malah bisa dijadikan ajang penghidupan.

Menyandang Carrier berbobot kisaran 8-15Kg. Bercelana model cargo yang dikenal dengan celana lapangan dengan berbagai model, sampai hanya mengenakan celana untuk model senam. Berkaos lengan pendek dan gondrong. Kumal dan layaknya seperti orang jarang mandi. Menempatkan penampilan pada urutan kesekian dari konsen hidupnya. Cuek berjalan di keramaian dan merasa senang dengan tantangan. Apalagi penggila olahraga yang boleh di bilang extrim ini, kerap kali mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Untuk sekedar menikmati sisi lain dari keindahan alam ciptaan Tuhan dengan caranya masih-masing. Bertengger di puncak-puncak tertinggi permukaan bumi, menyaksikan terbit dan terbenam matahari dari tempat yang tidak lazim, menghirup udara bersih dengan oksigen tipis dan menyaksikan sendiri keajaiban kawah gunung berapi. Atau menyaksikan sendiri awan putih pada pagi hari yang membuat anda seolah-olah berada diatas awan, untuk kemudian turun dengan manis dan mengisahkan keberanian mereka. Pada sahabat, kerabat dan anak cucunya kelak.

Menjadi seorang pendaki, tentu banyak sekali yang mesti di perhatikan. Banyak pula yang mesti dipelajari. “Hari gini, masih nekat naek gunung, udah nggak jamannya,” begitu kata seorang pendaki yang sempat penulis temui. Dia juga mengisahkan bahwa mendaki, bukan semata-mata menyalurkan hoby, tapi bagaimana mendaki bisa menjadi olah raga jasmani dan ruhani. Kenapa ruhani? Yap! Pertanyaan yang cukup menggelitik. Oke kita kupas satu-satu yah.Keindahan Alam dari Sisi BerbedaApakah kamu pernah membayangkan, berdiri disatu tempat tertinggi, yang disana kamu bisa menyaksikan eloknya matahari terbit di pagi hari. Merasakan belaian lebut awan yang ada di kejauhan, dengan semilir angin berhembus lembut. Sementara sejauh mata memandang hanya ada putihnya awan dan birunya langit? Hamparan kota di kejauhan, serta hijau yang melebihi halusnya permadani terbaik sekalipun? Yap. Mirip negeri diatas awan.

Pernah terfikir duduk sambil melihat sendiri mentari yang perlahan menghilang di cakrawala sore yang manis, menyisakan lembayung keemasan di ufuk barat? Kemudian mengambil foto dengan pemandangan paling spektakuler dari tempat yang tidak semua orang bisa mencapainya? Kebanggaan dan perasaan puas? Pasti! Itulah beberapa deskripsi mengenai keindahan puncak suatu gunung. Meski titp-tiap orang selalu punya pengalaman sendiri, tapi minimal seperti itulah gambaran rata-rata keindahan tiap puncak gunung. “Selalu ada sesuatu yang nggak bisa dideskripsikan. Sensasi yang nggak bisa gua lukiskan dengan kata-kata. Keindahan ciptaan Tuhan yang amat sangat menakjubkan dan masih banyak lagi, pokoknya capenya kebayar deh,” tutur seorang pendaki yang hampir telah mandaki semua gunung di Jawa, Sumatera hingga Lombok.

Lain lagi penuturan seorang perempuan manis berambut panjang, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta, yang mengungkapkan seolah-olah kita sedang berada sangat dekat dengan Tuhan. Mungkin pengertiannya, dengan mendaki gunung, dia berasa semakin dekat dengan Penciptanya.Boleh jadi macam-macam pendapat orang tentang bagaimana mereka menikmati keindahan tersebut. Karena masing-masing pasti akan mempunyai cerita yang berbeda mengenai perjalanannya. Tapi yang jelas, kebanyakan dari mereka merasa menyaksikan dunia dari sisi yang berbeda. Menyaksikan keindahan ciptaan-Nya dari sudut pandang berbeda, sudut pandang seorang Pendaki.

Standar keamanan dan keselamatan pendaki"Sebelum memulai sebuah pendakian, tentunya kita harus mengetahui hal yang satu ini. Kenapa? Yap! Karena ini menyangkut keselamatan akan diri kita. Menyangkut nyawa kita. Kita pasti tidak akan mau mati konyol di gunung, kan? Karena itu, safety prosedur boleh jadi merupakan kunci penentu dari kelancaran pendakian kita.

Yang dimaksud dengan Standar keamanan dan keselamatan pendaki disini adalah sejauh mana kita bisa mensiasati kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi di gunung. Menyiapkan peralatan pendakian yang akan membantu mempermudah kita dalam sebuah perjalanan. Pada musim hujan dan badai, tentunya akan berbeda dengan musim kemarau. Termasuk didalamnya adalah manajemen perjalanan yang baik. Pemilihan peralatan yang tepat, tanpa perencanaan yang baik juga kadang kala hanya sia-sia. Misalkan saja, kita telah menyiapkan semua peralatan dari mulai tenda hingga peralat pendukun seperti gaiter, tapi kita tidak merencakan pendakian dengan baik, semisal, kita tidak menentukan dimana kita akan bermalam, kapan kita akan istirahat, dan lain sebagainya. Pendakian seperti ini, kadang akan sangat beresiko. Apalagi jika kita mendaki dalam jumlah peserta banyak atau dalam sebuah pendakian massal.

Bagi pendaki pemula, kadang kala tidak memperhatikan hal ini. Padahal jika sebuah pendakian di rencanakan dengan baik, kita akan bisa menikmati tiap tarikan dan letih kita dengan nyaman.Makanan, juga jadi factor penting dalam pendakian. Pemilihan makanan yang bergizi dan berkadar karbohidarat tinggi, juga mutlak di perlukan. Siapa bilang kita cukup hanya memakai makanan instant. Seyogyanya makanan instant hanya sebagai makan pendukung, bukan makanan pokok. Kita bisa menyalurkan hoby memasak, justru pada saat hendak tidur malam. Aneka kreasi makanan bisa kita ciptakan. Jadi, pada saat melakukan perjalanan, makanan bukan seadanya, tapi perlu juga dicermati kadar gizi dan tanggal kadaluarsa, serta jumlah yang sesuai dengan lama perjalanan kita.

Olah Raga Mahal
Kalau ada orang yang bilang mendaki adalah olah raga mahal, jawabannya jelas seratus persen benar. Bayangkan, jika dalam melaksanakan sebuah pendakian kita harus membelanjakan kocek yang tidak bisa di bilang kecil. Kita harus merogoh kantong sedikit lebih dalam ketika menyiapkan peralatan dan perlengkapan untuk pertama kali, minimal carrier 60 liter, sepatu trekking, jaket, balaklava atau kupluk, windstoper, celana lapangan, raingear dan seperngkat peralatan memasak yang direkomendasi anti angin, tenda atau fly sheet. Yap. Jika kita jumlah dalam satu kali menyiapkan peralatan, hitungannya bisa beberapa juta rupiah. Belum lagi untuk materi-materi penunjang yang sifatnya sekunder, sepert senter, gaiter, topi lapangan, kompas dan perlengkapan survival lainnya.

Jadi. Benar kan kalo seandainya banyak yang bilang mendaki adalah olahraga mahal. Itu baru dari segi peralatan. Belum lagi biaya yang di keluarkan untuk sebuah perjalanan atau ekspedisi. Bayangkan jika kamu tinggal di Jakarta, kemudian merencakan pendakian ke gunug-gunung di Jawa Tengah, Jawa Timur atau Lombok. Berapa banyak uang yang akan kita habiskan. Dari catatan penulis sendiri, untuk sekali pendakian ke Jawa Tengah, minimal kita harus merogoh seratus lima puluh ribu rupiah dari pundi-pundi uang yang kita punya. Jika itu hanya untuk transportasi, maka bagaimana dengan perbekalan makanan. Kita harus menyiapkan perbekalan makan dalam konsep yang sangat detail.

Wah repot juga, yah. Tidak juga, kok. Pastinya kita tinggal siapkan segala kebutuhan sesuai dengan lamanya waktu perjalan yang akan kita tempuh. Semakin lama waktu yang di perlukan untuk sebuah perjalan makan kebutuhan konsumsi juga akan semakin besar, dan semakin banyak pula uang yang harus kita belanjakan. So, memang tidak ada salahnya kalau banyak yang bilang, mendaki adalah olah raga mahal.Tapi, buat sebagian orang, jumlah bukan lah hal yang penting. Ibaratnya, ketika kepuasan terengkuh maka berapapun harga akan di bayar.

Persiapan Fisik dan Mental
Sama halnya dengan olah raga outdoor lainnya, mendaki juga memerlukan kesiapan fisik dan mental yang prima. Kedua hal ini, akan sangat membantu jika kita di hadapkan kepada berbagai masalah di lapangan. Menghadapi hujan deras dengan angin kencang yang menerbangkan tenda-tenda, di bawah kilat. Berjalan di padang pasir atau sabana yang entah dimana ujungnya. Menanjak di terjalnya medan, dari yang masih bisa dilakukan sambil bendiri, hingga ada yang harus menggunakan tali, sementara beban berat masih menempel di punggung, pastinya bukan pekerjaan mudah. Ego yang sering muncul, menyeruak sendirian dalam alam bawah sadar kita ke permukaan, sehingga emosi sering kali susah di kontrol. Akhirnya, masalah timbul dan menjadi pemicu hubungan antar personal yang bukan tidak mungkin berakibat fata. Hanya orang-orang dengan kesiapan mental baja dan pisik yang prima mampu melewatinya. Berfikir jernih, adalah keharusan.Tekanan demi terkanan dari berbagai aspek, baik itu alam sendiri, maupun aspek sosial, seperti teman seperjalanan dan lainnya, menuntut kesiapan pikiran dan mental yang tangguh.

Mendaki itu Berbahaya
Kita sangat sering mendengar berita tidak menyenangkan tentang dunia pendakian. Beberapa mahasiswa dari Jawa Tengah tewas di gunung Slamet beberapa tahun silam, faktor cuaca penyebabnya. Kita juga masih teringat jelas, meninggalnya seorang pendaki di Gunung Gede, beberapa waktu silam, hingga tewasnya beberapa pelajar di Gunung Salak Jawa Barat. Belum lagi kasus-kasus kematian lainnya yang sangat tidak mungkin di sebutkan secara detail. Menyeramkan, bukan?

Tentunya kita tidak ingin mati konyol di gunung, kan? Jika jawaban kamu, ya, maka safety prosedur diatas mutlak di terapkan. Kecelakaan di gunung, minimal bisa kita tekan seminimal mungkin. Faktor-faktor seperti cuaca, alam, dan medan itu sendiri memang tidak bisa kita elakkan. Tapi dengan pembekalan yang baik dan persiapan yang memadai, kita dapat mengurangi resikonya. Sementara tentunya factor-faktor dari kesalahan manusia nya bisa kita hindari. Menganggap enteng sebuah perjalanan, tentunya sangat tidak bijaksana.

Kadang kala, kecerobohan kecil seperti ini yang membawa maut. Seringnya melakukan pendakian bukan serta merta membuat kita kebal terhadap resiko. Orang yang sangat berpengalaman pun, sangat mungkin terkena cidera, gangguan fisik dan lainnya. Nekat? Tentu saja konyol. Jadi, mendaki bukan hanya hoby, kan? Ada sangat banyak pelajaran tentang kehidupan di ajarkan dari sini. Selain berolah raga, kita tentunya akan bersingungan dengan macam-macam prilaku. Mulai dari teman seperjalanan, sampai pada prilaku alam yang sangat-sangat susah di tebak. Jika kemudian banyak yang menjadi lebih arif karena mendaki, tentunya itulah salah satu hal positif yang kita bisa petik. Tapi jika ada yang semakin brutal dengan vandalisme, minuman keras yang dianggap bisa membantu memulihkan suhu tubuh, padahal itu salah besar. Otak tidak akan berfikir jernih jika mabuk. Jadi mitos itu mesti di hilangkan dari sekarang.Sudah siap mendaki?

Inspirasiku dari SOE HOEK GIE,seorang green ranger,pendaki tangguh..


Antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru
Apa hubungan antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru?
Dan apa yang berkaitan antara keduanya?
Soe Hok Gie dan Mahameru adalah dua legenda Indonesia, sedangkan hubungan antara keduanya?
Soe Hok Gie wafat di Mahameru saat melakukan pendakian pada 18 Desember 1969 karena menghirup asap beracun gunung tersebut
Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktifis yang sangat aktif pada masanya. Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman oleh LP3ES diterbitkan pada tahun 1983. Soe Hok Gie tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia dan juga merupakan salah satu pendiri Mapala UI yang salah satu kegiatan terpenting dalam organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442m.
Kemudian pada 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676m. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Sebelum berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia menuliskan catatannya :
“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut yang saya kutip dari Intisari :
Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.
Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.
Soe Hok Gie telah menjadi salah satu Dewa yang memuncaki Mahameru, Puncak Abadi Para Dewa.

slideshow

Fotoku

Fotoku
lagi ikut lomba birdwatching

Islamic Web Category

Powered By Blogger